BULETIN JUMAT (28 – 8 – 2012)

Apa buah dari Tauhid Sosial?

“Sesunggunya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”
(QS. Al-Kautsar: 1-2).

Sudah teramat banyak peristiwa di dunia ini yang bisa diambil makna dan hikmahnya dalam menjalani bentangan hidup seorang manusia. Allah SWT telah menuntun kita kemana seharusnya melangkah, lalu berusaha menemukan ujung keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang wajib patuh dan menyembah hanya kepada-Nya, bukan terhadap yang lain. 

Kisah Nabi Ibrahim AS menghadirkan ibrah untuk kita bagaimana proses menjadi khalilulloh (kekasih Allah). Kala itu, di usia yang tergolong senja, Ibrahim belum juga dikaruniai putera, padahal beliau sangat menginginkannya. Allah Maha Mendengar dan Maha Pemurah, akhirnya mengabulkan do’a Ibrahim, maka lahirlah Ismail.

Sejak kelahiran Ismail, kasih sayang Ibrahim begitu besar pada anaknya itu. Perubahan sikap ini memunculkan bahaya yang jelas, bahwa hubungan kasih sayang itu bisa menjadi hubungan yang posesif, terikat, hingga hubungan kepemilikan yang bisa mengalahkan lainnya. Allah pun mengujinya untuk menyelamatkan aqidah Ibrahim dan keluarganya melalui mimpi dengan perintah yang tak masuk akal, yaitu menyembelih Ismail. Setelah melalui pertimbangan yang menegangkan bercampur godaan setan, sub¬ha¬nalloh, baik Ibrahim maupun Ismail, keduanya lolos dari jeratan bahaya. Kuncinya adalah taat dan ikhlas. Mereka berhasil melaksanakan perintah itu sebagaimana mestinya, namun karena kasih sayang Allah, posisi Ismail diganti dengan seekor domba.

Lewat fakta ini kita diajarkan sikap taat secara total kepada Allah SWT sehingga sedikitpun tak ragu melaksanakan perintahNya. Setelah itu kita menyadari bahwa diriku bukan milikku, anakku bukan milikku, bahkan semua yang kumuliki dan pernah kunikmati ini bukanlah milikku, melainkan milik Allah Sang Maha Kuasa. Karena itu, esensi qurban adalah memusnahkan sifat memiliki sehingga tidak ada lagi serakah dan kikir. Kita harus selalu banyak bersyukur dan suka berbagi kepada sesama.

Baca juga :  Menghadapi Virus Corona dengan Kurma, Zikir dan Doa

Solusi Problem Sosial
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, artinya, mendekati atau menghampiri. Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya.
Qurban dalam Islam tidak sama dengan upacara persembahan agama-agama lain. Hewan kurban tidak kemudian dibuang dalam altar pemujaan dan dibiarkan membusuk, dan tidak pula dihanyutkan di sungai atau laut, tetapi daging qurban dinikmati bersama tetangga di lingkungan masing-masing atau diberikan orang-orang miskin yang membutuhkan. Dalam konteks ini, kita memaknai qurban sebagai usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mendekatkan diri dengan sesama manusia.

Pakar tafsir kontemporer, Abdullah Yusuf Ali, menjelaskan ibadah qurban memiliki makna spiritual dan dampak sosial yang luas. Qurban menjadi ungkapan kasih sayang, cinta dan simpati mereka yang berpunya kepada kaum papa. Qurban mengandung nilai bahwa kita harus berusaha mengalahkan ego kita sendiri. Sikap egosentrisme (anaaniyyah), berpikir seolah-olah rizki dan segala kesuksesan semata-mata dari hasil keringat sendiri terlepas dari peran Allah Sang Maha Pemberi, tentu sangat berbahaya.
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Qurban merupakan wujud solidaritas dan menjadi instrumen penting dalam memperkuat kebersaman, kepedulian, toleransi, dan perdamaian. Qurban sebagai ibadah sosial bisa menjadi solusi untuk membantu membangun harmoni kemanusiaan, mengatasi problem kemanusiaan yang saat ini melanda umat manusia berupa kemiskinan, konflik, bencana alam, ketidakadilan, keserakahan, kesenjangan, dan berbagai permasalahan kemanusiaan lainya.
Melalui ibadah Qurban, seorang hamba ditempa untuk memiliki jiwa kepedulian terhadap orang lain. Salah satu hikmah berkurban adalah menggem¬birakan golongan fakir miskin. Sebab, tidak semua orang mampu makan dengan daging walaupun dia tinggal di kota besar.

Baca juga :  Isra Mi'raj 1441 H, Saatnya Kita Perbanyak Menangis Atas Dosa, Jangan Perbanyak Berkata Kata

Maka dianjurkan sekali bagi orang yang mampu untuk berqurban dan membagi-bagikan daging dari hewan qurban tersebut kepada fakir miskin. Dalam ajaran Islam, disyariatkan daging qurban untuk disedekahkan kepada orang yang layak menerimanya.
“Beliau (Rasulullah) memberi makan dari dua kurbannya itu untuk orang miskin, dan beliau beserta ahlinya ikut memakannya.” (HR Ahmad).
Allah SWT telah menjanjikan surga bagi mereka yang telah menyisihkan sebagian dari harta mereka untuk berqurban dengan niat yang ikhlas. Hewan yang telah kita qurbankan diyakini di kemudian hari akan mengantarkan kita menuju surga.
“Sesungguhnya, orang yang berqurban itu datang pada hari kiamat membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang qurban itu. Dan sesungguhnya darah (qurban) yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah dari (darah itu) jatuh di permukaan bumi. Sucikanlah dirimu dengan berqurban itu.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Aisyah).

Tauhid Sosial
Ibadah qurban merupakan sarana pembuktian totalitas keimanan seorang hamba kepada Allah. Keimanan meliputi keikhlasan, yang berarti ibadah qurban yang dilakukan harus murni dilakukan semata-mata karena Allah dan dalam rangka menjalankan perintah-Nya.
Dengan berqurban, diharapkan dapat menumbuhkan dan mengasah ke¬ikhlasan seorang hamba. Karena keikhlasan, sebagaimana halnya keimanan, akan selalu naik dan turun dan akan selalu menguat dan melemah. Qurban yang dilaksanakan bukan karena Allah, seperti malu bila tidak berqurban atau ingin pamer sebagai orang yang dermawan, tentu tidak akan dihitung sebagai kebajikan.

Kehidupan tanpa pengorbanan bagaikan pohon besar tanpa buah yang akhirnya tumbang sendirian karena dimakan usia, dikarenakan kehidupannya tidak memberikan manfaat apa pun bagi lingkungan sekitarnya. Bahkan kehidupan yang demikian tidak akan pernah puas dan cenderung serakah dan akhirnya mengganggu ketentraman orang lain demi memuaskan nafsu serakahnya.
Jika kita melaksanakan ibadah Qurban, berarti kita sudah menegakkan nilai-nilai Tauhid sekaligus nilai-nilai sosial. Inilah yang disebut oleh Prof. DR. HM. Amien Rais sebagai “Tauhid Sosial”. Artinya, jika kita ingin tauhid kita menjadi baik, maka kita juga harus membangun hubungan baik kita dengan sesama manusia. Karena Islam bukan hanya agama yang melulu mementingkan ritualitas kosong, melainkan agama yang berinteraksi dengan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, penindasan, kezaliman dan lain sebagainya. Ajaran Tauhid sosial juga berarti umat Islam harus berinteraksi dengan berbagai permasalahan sosial dan cara-cara menanggulanginya.

Baca juga :  Isra Mi'raj 1441 H, Saatnya Kita Perbanyak Menangis Atas Dosa, Jangan Perbanyak Berkata Kata

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nissa: 36)
Al-Qur’an dan Al-Hadis tidak melulu bicara soal ibadah tetapi juga bicara mengenangi masalah-masalah sosial. Oleh karena itu seorang muslim yang saleh bukan hanya senang beribadah ritual di masjid-masjid melainkan harus turun ke masyarakat dan ikut berkontribusi menanggulangi berbagai permasalahan sosial, termasuk ikut berqurban. *** IBNU ABDURAHMAN

Berbagi informasi

By husna

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *